WhatsApp dalam beberapa tahun terakhir ternyata menjadi alat komunikasi yang paling populer digunakan di negara - negara konflik. WhatsApp menjadi media penyambung antar warga di tengah pemutusan atau pembatasan jalinan komunikasi oleh rezim berkuasa.
Ketika Rezim berkuasa berupaya melemahkan sistim komunikasi, WhatsApp menjadi infrastruktur penghubung antar warga. Jadi di daerah konflik, WhatsApp menjadi musuh yang paling berbahaya bagi rezim dan menjadi sahabat bagi penderitaan rakyat.
Oleh sebab itu banyak upaya yang dilakukan rezim untuk melemahkan WhatsApp, terutama di negara yang tidak siap dengan perubahan drastis iklim politik dunia, di mana tiap orang bisa saling terhubung dengan siapa saja di seluruh dunia, tidak lagi mengenal batas wilayah.
Seperti apa yang disampaikan oleh beberapa orang di Timur tengah :
Yasmine Rifaii, 24, seorang warga negara yang berdemosntrasi dari Tripoli di Libanon utara yang bekerja di sebuah LSM lokal, mengatakan WhatsApp beroperasi menjadi virtual "panggung di belakang revolusi".
"Kami ini terhubung dengan semua group WhatsApp. Libanon adalah negara kecil, semua orang mengenal orang lain dari kota lain. Kami menjangkau lintas agama dan lokasi," katanya kepada AFP. Uhtuk melewati perbatasan di Suriah, Whatsapp dapat menjadi perbedaan antara hidup dan mati.
Mustafa al-Haji Younes, pimpinan sebuah kelompok responden pertama di provinsi Idlib, mengatakan warga sipil menggunakan obrolan group WhatsApp untuk memohon bantuan dari tim penyelamat.
"Kami berkoordinasi pada kelompok-kelompok ini setiap kali ada kebutuhan untuk layanan kami," katanya. Ketika infrastruktur telekomunikasi yang lemah di daerah-daerah di bawah kendali oposisi. "Orang-orang hanya bisa menghubungi kami melalui WhatsApp atau ponsel," katanya.
Dan lebih dari 1,5 miliar pengguna di seluruh dunia, WhatsApp tetap menjadi program media sosial paling populer dalam hal penggunaan di wilayah yang muda dan cerdas teknologi, menurut survei terbaru oleh Northwestern University di Qatar.
Selain berbagi konten yang menghubungkan pengunjuk rasa melalui pesan terenkripsi built-in, aplikasi ini juga digunakan untuk percakapan sehari-hari, seperti di tempat lain di dunia.
Di beberapa negara di Timur Tengah aplikasi Telegram dilarang, oleh sebab itu banyak yang beralih ke aplikasi WhatsApp. Kondisi ini bukan hanya terjadi di Timur Tengah, namun juga di semua negara yang terjadi konflik.
Rezim yang terus berupaya untuk menguasai alat komunikasi, mungkin mereka masih belum sadar seolah masih berada di era sistim jaringan komunikasi tradisional yang bisa mereka kendalikan sesuka mereka, bahkan pengendaliannya pun dalam aksi pemerkosaan komunikasi tanpa alasan yang jelas, tidak memiliki dasar hukumnya.
Semoga informasi ini bermanfaat.